Sebagai seorang wanita Indonesia, Kartini adalah salah satu sosok yang menjadi inspirasi dan motivasi bagi saya. Sedangkan sebagai orang Aceh, Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati selalu berada di sudut khusus dalam hati. Minggu ini, saya berkesempatan menjadi salah satu panitia pengurus program peringatan Hari Kartini di radio online salah satu organisasi yang sedang saya keluti di sini. Untuk itu, saya pun mem-posting poster di grup. Namun, dari komentar positif, hampir banyak juga komentar berarah negatif yang saya terima. Yang mana komentar tersebut diarahkan untuk Kartini, seperti: - Beliau adalah simbol kezhaliman sejarah yang tak berkeadilan
- Jasa beliau sesungguhnya tidak ada dalam sejarah perjuangan memerdekakan republik ini - Kartini tak pernah berjihad memanggul senjata melawan musuh, dia justru duduk di singgasana yang disiapkan oleh kafir Belanda - Kartini adalah ibu teladan dalam poligami (istri ketiga bupati Jepara, istri ketiga Bupati Rembang) - Penokohan Kartini itu tidak terlepas dari peran Belanda Lalu ada juga yang memberi komentar dengan melampirkan opini yang ditulis oleh Dr. Adian Husaini, Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah, edisi 9 April 2009 di INSIST-Republika atau kutipan dari buku Satu Abad Kartini (1879-1979) milik Harsja W Bahtiar, serta artikel-artikel lainnya. Intinya, semua artikel tersebut menolak menjadikan Kartini simbol kemajuan wanita dan menunjuk Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan, Rohana Kudus, serta pahlawan-pahlawan wanita lainnya sebagai yang lebih pantas mendapatkan simbol tersebut atau singkat kata, menolak menjadikan Kartini sebagai wakil dari seluruh wanita Indonesia. Membaca banyak komentar-komentar ini, di satu sisi saya merasa tidak setuju ketika dikatakan bahwa beliau tidak ada jasa dalam perjuangan kemerdekaan atau ibu teladan dalam poligami. Menurut saya pribadi, kata-kata ini sangatlah tidak pantas diucapkan, kalau kata Cinta di AADC "jahat!". Berjuang menjadikan ibu pertiwi merdeka itu sejatinya bukanlah saja dengan cara mengancungkan senjata dan berlari di medan perang. Dengan menggunakan pena dan kertas pun seeorang telah dihitung ikut berkontribusi untuk memerdekakan negara, yang mana ini dilakukan oleh Kartini dengan membuka sekolah wanita, menulis, mengajar. Pendidikan merupakan sebuah tombak yang cukup kuat untuk menaklukan negara, dari pendidikan jugalah seorang pemimpin lahir. Jika dikatakan Kartini tak memiliki jasa apapun, I am not deal with it. Lalu untuk masalah poligami, bagaimana seseorang bisa mengatakan dengan sangat kasar bahwa beliau adalah sosok teladan poligami? Sebagai seorang wanita dan melihat keadaan yang dialami Kartini waktu itu, lebih tepat jika dikatakan bahwa Kartini tidak memiliki hak untuk memutuskan sendiri pilihannya. Iya dipaksa menikah dengan seseorang yang tidak ia kenal sama sekali di mana umur mereka sangat jauh berbeda. Ada hak-hak yang tidak didapatkan oleh gadis muda Kartini waktu itu. Ia bukanlah sebuah teladan poligami, melainkan sebuah contoh miris atas ketidakadaannya kepedulian atas hak-hak wanita pada masanya. Untuk seorang teman yang membuat komentar tak bermoral itu, saya sarankan kenali benar-benar sejarah, wanita telah melalui masa yang sangat berat hingga bisa berada di kakinya sendiri saat ini, walau masih tertatih. Lalu apa salah Kartini di sini? Menurut saya pribadi, Kartini tidak memiliki salah apapun ketika dirinya dijadikan simbol atas hari wanita di negara kita. Ia sendiri pun tak pernah tau jika akhirnya namanya bisa terus disebut hingga hari ini. Lalu kenapa kita harus menghina seorang wanita yang memiliki kepandaian dan tak bisa mewujudkan cita-citanya itu? Tetapi, saya pribadi juga tidak setuju, ketika nama beliau terus diagung-agungkan, sedangkan sedikit nama wanita lain yang terdengar. Selama ini, pahlawan wanita yang teringat di setiap orang hanyalah Kartini atau Cut Nyak Dhien, hanya segelintir yang mengetahui nama-nama seperti Maria Walanda Maramis, Nyai Hj, Siti Walidah Ahmad Dahlan, Dewi Sartika, atau Hj. Rangkayo Rasuna Said. Kemana nama wanita-wanita hebat itu? Hilang. Tak disebut. Dan kini, terlupakan. Ini yang salah, ini yang harusnya diubah. Kita ingin memperingati hari wanita, memberikan hak-hak yang harusnya wanita dapat, memberikan nilai, menghargai, menspesialkan, tapi sayangnya yang kita lakukan hanyalah memuliakan satu orang saja dan melupakan yang lainnya. Hal ini sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga dunia. Coba ditanya, ada berapa banyak nama jalan yang dibuat dengan nama wanita? Ada berapa banyak nama wanita inspiratif yang teringat di kepala anak-anak? Sedikit. Atau mungkin tidak ada. Miris. Wanita hanyalah sebuah simbol kecantikan, penjualan, penikmat mata di televisi, dan lain sebagainya. Wanita masih tidak dilihat, nilainya masihlah tidak serupa dengan yang didapat oleh laki-laki. Wanita masih memeroleh kekerasan baik secara fisik, mental, maupun seksual, masih banyak pernikahan paksa dan dibawah umur terjadi, pemaksaan aborsi, penjualan, dan lainnya. Kartini bisa saja dijadikan simbol utama, tapi lebih tepat lagi jika simbol itu tidak ada, lalu yang kita lakukan adalah mengenalkan seluruh wanita inspiratif yang telah memajukan negara. Dan katakan: Lihatlah, negara kami memiliki wanita-wanita luar biasa, bukan hanya seorang saja! Ketika kita memberikan tempat untuk wanita-wanita itu, maka akan ada banyak anak-anak perempuan yang memberikan tempat khusus juga di hati mereka bagi pahlawan wanita instiratif mereka. Mimpi mereka juga nantinya akan berbeda, bukan lagi Steve Jobs, Obama, Einsten... tetapi Susi Pudjiastuti, Tri Rismaharini, Sri Mulyani... Wallahu alam.
0 Comments
Leave a Reply. |
SELAMAT DATANG :DCategories
All
Archieve
December 2020
|