Kadang kita tak pernah mengerti tentang misteri yang diberikan Tuhan. Ya, hidup. Hidup yang bagi kita sebuah pencapaian dan juga tempat merenda beribu impian. Banyak jalan kita tempuh untuk dapat menggapai apa yang telah kita gantung di hadapan. Bersusah-payah memeras seluruh keringat demi sebuah cita-cita. Berharap suatu hari Tuhan mau mengabulkannya menjadi nyata. Namun, terkadang Tuhan juga punya rencana berbeda. Mungkin jalan yang kita lalui bukanlah jalan yang Ia inginkan. Lalu, jalan itu tertutup begitu saja. Sekeras apapun kita berusaha mencoba menerobosnya, tetap saja, Ia tak mengizinkan. Jatuh, berkali-kali. Bukan berarti dunia runtuh. Akan selalu ada jalan baru yang terbuka dan Ia menginginkan kita melaluinya. Mungkin selanjutnya bisa jadi kita terjatuh lagi. Namun, bukan berarti kita harus mengadili dan marah. Lalu mengatakan, mengapa harus aku yang mengalami ini? Tuhan tidak adil! Aku membenci Tuhan! Naudzubillah min dzalik. Beginikah seorang hamba bersikap? Tidakkah kita mengingat berapa banyak yang telah diberikan Allah Swt. untuk kita? Setiap helaan nafas, setiap jengkal langkah, setiap kedipan mata. Bayangkan saja jika Allah Swt. membuat kita satu menit saja tidak dapat berkedip. Sanggupkah kita menahan perihnya udara yang masuk ke dalam mata? Tidak! Lalu mengapa masih mengeluh? Mengapa masih merasa tidak diadili? Lalu apa namanya rahmat yang Ia beri jika bukan sebuah keadilan? Seharusnya Tuhan yang bertanya pada kita, mana keadilan yang kau berikan untuk-Ku? Sudahkah bersyukur? Tuhan memberikan sebuah kegagalan hanyalah alasan untuk mengajarkan kita sedikit tentang arti sebuah kesabaran dan sepotong keikhlasan. Dari hal itu juga nantinya kita akan belajar mengenal arti sebuah kedewasaan. Tuhan memberikan kita sebuah kegagalan agar nantinya kita mengerti bagaimana perasaan seorang teman kita yang gagal. Lalu apa? Kita yang dewasa, kita yang pernah merasakan berada di tempatnya akan mampu membangkitkan teman kita agar tidak cepat menyerah. Membawa kembali semangatnya yang dulu begitu menggebu-gebu. Percayakan semua impian-impian itu kepada Allah Swt. Karena hanya Dialah yang Maha Tahu apa yang terbaik buat kita. Lagipula, bukankah Ia telah jelas menukilkannya dalam surat cinta yang tak pernah hilang sejak beribu tahun yang lalu. Bahwa sesudah kesusahan, ada kemudahan. Aku mengartikannya berbeda. Bukan setelah kesusahan, melainkan di samping kesusahan itu sendiri. Kesusahan datang dengan membawa solusinya. Kita hanya perlu mencarinya lebih dalam. Tepat di dalam hati. Bahwa sesungguhnya yang harus kita lakukan hanyalah berserah diri. Tuhan lebih tahu apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Lalu apa yang harus kita lakukan ketika kegagalan itu datang? Satu yang harus kita ucapkan. Alhamdulillah. Mengapa? Karena itu artinya Tuhan masih peduli. Tuhan menginginkan kita untu menjadi lebih ikhlas, lebih sabar, lebih dewasa. Lalu bagaimana jika kita terus-menerus gagal? Bukankah itu sama sama dengan ketidakadilan? Tuhan itu Maha Adil. Kalau kita terus-terusan diberi kegagalan itu artinya tingkat keikhlasan kita belum seperti yang Tuhan inginkan. Kita masih belum dapat mengontrol emosi kita sendiri. Kita masih belum bisa menerima keadaan kita. Bukankah seorang manusia harusnya menjadi qana’ah? Menerima segala apapun kehendak Tuhan. Ingat! Kita hanya menumpang di bumi ini. Tubuh, roh, harta, segala yang ada hanyalah titipan. Dan kita, hanyalah ciptaan! Jadi, kalau gagal ya tetap, harus bersyukur! J *** Banyak sekali kita lihat di sekeliling kita orang yang telah bersusah payah menggapai sesuatu harus gagal di akhir. Atau mungkin kita sendiri pernah merasakannya. Berjuang mati-matian, tetapi akhirnya semua gagal. Haruskah kita mengadili Tuhan? Bahwa ini semua adalah kesalahan-Nya? Terlalu sombong menurutku jika jawabannya memang ‘iya’. Kenapa? Ia telah memberikan apapun yang kita butuhkan. Dan mungkin, di balik kegagalan itu ada sesuatu istimewa yang telah Tuhan persiapkan. Kenapa harus marah? Kalau akhirnya tak ada kerugian sedikit pun untuk diri kita nantinya. Tak usah jauh membicarakan orang lain. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang telah menelan bulat-bulat sebuah kegagalan. 2012, tahun di mana aku menyelesaikan SMA. Menjadi siswi di salah satu SMA International membuatku percaya diri dapat masuk ke sebuah universitas ternama, setidaknya Universitas Indonesia. Ini awal mulanya. Tuhan membenci hamba yang sombong hati. Dan tahun itu aku tidak lulus di UI, Tuhan memberikan aku sebuah bangku di universitas lain dengan jurusan yang tidak kuinginkan. Siswa yang baru lulus SMA, aku menyebut usia di mana emosi seseorang tengah labil, tetapi memiliki semangat membara. Begitu pula aku. Aku memilih untuk tidak mengikuti ujian masuk universitas lainnya, melainkan menangguhkan satu tahun hidupku ke depan untuk mengikuti bimbingan belajar. Lihat, di sini saja Tuhan membalas kesombongan hatiku bahwa sekolah international bukan berarti aku dapat lulus dengan mudah. Enam bulan lebih aku bergulat dengan seluruh pelajaran dan beribu soal-soal. Aku sampai hafal tahun soal-soal ujian tersebut. 2013, aku kembali mengikuti ujian masuk untuk seluruh universitas atau yang dikenal dengan nama SBMPTN. Tak hanya itu, aku juga ikut SIMAK UI, jalur masuk khusus ke Universitas Indonesia. Kali ini aku benar-benar yakin bahwa enam bulan yang telah kulalui sungguh-sungguh itu akan terbayar dengan sebuah kelulusan. Kun dan fayakun memang milik Allah Swt. Aku tak punya sedikit pun kemampuan untuk mengubahnya. Seberapa besar pun aku yakin dapat menjawab soal-soal ujian jika Allah Swt. berkata aku tidak lulus, ya aku tidak lulus! Dan kesimpulannya, aku tidak lulus! Putus asa? Hampir! Stres? Tentu saja! Namun, aku lebih memilih untuk bangkit. Ini belum berakhir. Impianku terlalu besar untuk berakhir hanya karena kegagalan. Aku mendaftar ke berbagai universitas swasta terbaik di Indonesia. Mengirim seluruh berkas-berkas nilaiku di SMA. Lalu ternyata, Tuhan menjawab doa panjangku. Berkas-berkasku diterima di Universitas Muhammaddiyah Yogyakarta, jurusan Hubungan Internasional. Bahagia? Tentu saja. Perjuangan melelahkan akhirnya berbuah indah. Namun sekali lagi, Kun dan fayakun milik-Nya! Orang tuaku tidak mengizinkan aku tinggal di Jogja karena alasan banyak berita yang tak baik di sana. Beribu alasan kembali kulayangkan. Mulai dari banyaknya teman-temanku yang juga kuliah di sana hingga siap tinggal di sebuah asrama hafidzah. Namun, tetap saja. Ayahku bukan tipe orang yang mudah membalikkan apa yang sudah menjadi keputusannya. Aku, pasrah! Tak ada jalan lain. Tak ada universitas lain. Tak ada lagi ujian masuk. Haruskah setahun ke depan juga kugadaikan? Tidak. Aku tak lagi ingin kehilangan setahunku untuk dibayar dengan kegagalan lagi nantinya. Untuk kali ini, aku hanya bisa bilang, aku putus asa! Aku kembali melihat ke dalam diriku sendiri. Mencari di mana letak kesalahanku. Mengapa Tuhan tak mengizinkan aku mencicipi bangku kuliah? Dan saat itu aku sadar, ada segumpal benda kotor dalam hati yang patut kubuang jauh-jauh. Kesombongan! Ya, mungkin aku terlalu sombong dengan kemampuanku hingga lupa bahwa kemampuan Tuhan lebih dari segala apapun. Kali ini, aku mengaku kalah. Aku malu dan aku pasrah. Benar-benar pasrah. Kubuang seluruh gumpalan kotor itu dan menyerahkan semua impian ini hanya pada Allah Swt. Terserah ke mana pun Ia membawa kaki ini melangkah. Karena kuyakin Dia lebih tahu yang terbaik untukku. Sholat panjang dan doa yang tak terputus kuhantarkan. Sekali lagi, Kun fayakun adalah milik-Nya! Sebuah hadiah Ia datangkan di saat aku berada di titik terendah dalam hidup. Bukan lagi Universitas Indonesia, bukan lagi di Indonesia. Dia memberikanku lebih dari yang kuduga. Sebuah beasiswa penuh pendidikan di negeri dua benua. Negeri yang dulu pernah menjadi impianku juga. Turki! Kita memang takkan pernah mengerti jalan mana yang Tuhan inginkan. Kita memang tak pernah paham ke mana Ia menuntun kita. Yang harus kita lakukan hanyalah percaya. Percaya bahwa Ia takkan mungkin meninggalkan kita. Aku ingat di suatu malam kepulanganku dari luar kota. Tak sengaja berucap, Tuhan izinkanlah aku melihat langit yang sama di tempat berbeda. Lihatlah! Tuhan memang Maha mendengar! Ia mengabulkan doa yang kusiratkan dalam hati dengan sebuah kenyataan. Melihat langit yang sama di tempat berbeda. Di negeri Mevlana. Lalu, haruskah Tuhan kuadili untuk kegagalan yang lalu? Terlalu sombong menurutku. *** Sukses bukanlah segalanya. Menjadi orang yang lebih baiklah yang utama. Membuat orang lain yang sedang kesusahan bahagia. Membawa ia keluar dari masalahnya. Tetapi, sebelum itu yang harus kita lakukan adalah keluar dulu dari sisi buruk diri kita. Lupakan apa yang telah terjadi di belakang. Yang gagal biarlah jadi kenangan dan titik api penyamangat kita ke depan. Rajut kembali mimpi, tegakkan kembali asa. Gantung setinggi-tingginya impian itu. Jangan pernah takut untuk jatuh. Karena Tuhan sendiri yang akan memeluk mimpimu. Ada sebuah kalimat yang selalu kuingat. Seseorang yang menaiki tangga untuk mencapai titik tertinggi bisa jadi terjatuh. Namun, ia hanya akan terjatuh di tangga sebelumnya. Namun, seseorang yang menaiki lift untuk menggapai tingkat tertinggi akan jatuh satu, dua, bahkan hingga lantai terakhir. Bukan mimpi yang terlalu besar bagi kita. Namun, seberapa besar kita untuk mimpi itu. Letakkan mimpi itu mulai sekarang di depan kening kamu. Namun, jangan lupa untuk selalu berdo’a. Karena tanpa-Nya semua hanya akan sia-sia Tuhan, hari ini aku Harus menegak lagi kata yang orang-orang sebut sebagai “Kegagalan”. Pahit memang Tapi, aku tahu Engkau akan menghadirkan ramuan manis di akhir Menghilangkan pahit di ujung hati Bukankah itu yang pernah Kau tulis di surat cinta-Mu? Mataku, tak pernah sampai menjangkau maksud-Mu Jiwaku, tak pernah sampai mengerti rencana-Mu Hamba-Mu ini hanya selalu menggantungkan harap Dan Kau yang menuntunnya Tuhan, Bawalah mimpi itu tepat di jalan-Mu Aku hanya tak ingin lagi terjatuh, lalu mencela Aku hanya ingin jatuh dalam jurang yang Kau siapkan Lalu, aku akan tersenyum dan bilang Sesungguhnya ini terjadi karena Tuhan mencintaiku.
0 Comments
Sabtu, 12 April. Aku dan Meryem pergi ke Küçük Camlıca Parkı. Sebuah taman kecil dekat asrama. Sama seperti pengunjung lainnya, kami datang untuk menikmati pesona bunga asli Turki. Sejak awal memasuki gerbang, siapapun akan terpesona oleh keindahan warna-warni Tulip. Semburat langit biru keemasan dan angin yang berhembus sepoi pun menambah anggun taman kecil ini. Udara tak begitu dingin. Aku menjinjing jaket di tangan kiri, begitu pula Meryem. Taman ini berada di sebuah bukit. Semakin ke atas, semakin mata tak pernah mau berhenti memandang. Bunga yang hanya akan mekar tepat saat musim semi berlangsung ini berlomba memamerkan kecantikan mereka. Satu kata, semua orang akan jatuh cinta pada Turki karenanya. Kami mencari tempat duduk untuk menikmati es krim dan beberapa cemilan yang kami beli sebelumnya. Saat itulah, aku sadar bahwa handphone-ku tak berada di tangan. Aku mencari ke seluruh tempat. Tas, jaket, kantong celana, namun nihil. Ponselku tak ada. Panik! Kami kembali menyusuri jalan yang sebelumnya kami lewati. Mencari di sela-sela bunga dan rerumputan. Tak ada! Aku menemui polisi sekitar dan menceritakan masalah ini. Kami berpencar. Meryem mencari di daerah bawah dan aku bersama polisi mencari di atas. Polisi itu terus mencoba menghubungi nomorku. Berharap jika terjatuh akan mendengar suaranya. Atau ada seseorang yang berbaik hati mengangkatnya. Tersambung, tapi tak ada jawaban. Hampir dua jam lebih kami mencari. Langit mulai gelap. Aku tak bisa berlama-lama di luar. Peraturan asrama membuat kami harus segera kembali sebelum malam. Meryem memberikan nomornya kepada polisi. Aku, pasrah. Allah memberikan kita rezeki setiap hari. Dan telah menjadi hakNya jika Ia mengambilnya kembali. Itu yang pertama terlintas di pikiranku. Hanya sebuah benda kecil yang Ia titipkan. Sedih memang. Tapi, di sini letak sebuah kesabaran dan pelajaran untuk mengikhlaskan. Dua hari lalu, aku tak sengaja membaca sebuah kalimat Allah menguji hambaNya dengan sebuah musibah karena İa ingin mendengar rintihannya. Mungkin Allah rindu denganku yang terkadang suka melupakanNya. Aku yang jarang berdoa dan menangis di depanNya. Aku yang terlalu sombong untuk sedikit saja meminta bantuanNya. Mungkin itu sebabnya İa memberikan sebuah ujian kecil ini. Astaghfirullah. Berdoalah dan akan Ku kabulkan permintaanmu. Kalimat yang tak lagi asing. Ya, hanya Allah sebaik-baik penolong. Ia yang lebih mengetahui yang terbaik untukku. Jika memang kehilangan adalah hal yang lebih baik, aku berharap Ia memberikan keikhlasan dalam hati. Sesuatu yang amat sulit, namun cukup untuk memulai sebuah pendewasaan diri. Aku menghubungi abla dan beberapa teman. Meminta doa dari mereka. Satu yang tak kukabari tentang hal ini. Ibu. Aku hanya berpikir ini belum waktu yang tepat untuk mengabarkannya. Mungkin nanti, setelah aku cukup tenang. Yang pasti akan segera memberitahunya. Hanya saja, bukan saat ini. Minggu 13 April, tepat setelah aku selesai Sholat Dzuhur. Sebuah panggilan ke nomor Meryem membuat air mataku luruh. Ketika sebuah kepasrahan dijawab dengan keajaiban. Aku pernah mendengar seseorang berkata. Kau takkan pernah tau kekuatan sebuah doa. Dan kini, Allah menampakkannya. Ponselku ditemukan. Polisi yang memberikan ponselku berkata bahwa aku beruntung. Aku hanya tersenyum. İni bukan sebuah keberuntungan, ini adalah kekuatan Tuhan. Bisa saja orang yang menemukan ponselku bukan orang yang baik lalu menjualnya. Tapi, rencana Allah berbeda. Aku tak tahu siapa orang baik hati yang telah menemukannya. Polisi bilang mereka tinggal di Kartal. Dan ponselku berada di mobil mereka. Wallahualam. Jangan pernah berhenti berharap dan menggantungkan semua padaNya. Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Lalu nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan? Ada yang unik dengan Istanbul. Bukan hanya tentang cerita perjuangan Sultan Fatih menaklukkan Byzantium atau Atatürk yang menggulingkan pemerintahan khalifah menjadi sekuler. Sebuah tempat di ujung darat Asia, Üsküdar, telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang juga tak terlupakan. Berada di tepi Selat Bosphorus dan dikelilingi pemandangan menakjubkan, sebuah mesjid berdiri megah menembus ujung langit Asia. Awal melihat mesjid ini semua orang pasti akan mengira tak ada yang berbeda dari mesjid lainnya. Namun jika dilihat lebih seksama, ada hal spesial yang terdapat di dalamnya. Berbeda dengan mesjid lain di Istanbul yang dipenuhi dengan burung di kubah dan menaranya, Şemşi Ahmet Paşa Camii, sejak pembangunan tak pernah sekalipun dihinggapi burung. Bagaimana mungkin? Itu hal pertama yang muncul di pikiranku ketika mendengar cerita tentang mesjid ini dari seorang teman Turki. Namun, jika kita telusuri tentang siapa perancang mesjid ini, tak mengejutkan jika ia memiliki keistimewaan tersendiri. Siapa yang tak kenal Mimar Sinan? Menyebut namanya, seluruh warga Turki pasti mengetahui kehebatannya. Seorang arsitektur termasyhur pada era Kesultanan Turki Usmani. Yang merancang keindahan Blue Mosque dan Mesjid Selimiye dengan kerincian Matematika luar biasa. Menjadi seorang arsitektur Muslim yang berhasil mengalahkan megahnya arsitektur bangunan Kristiani. Beliau jugalah yang membangun Şemşi Ahmet Paşa Camii. Tak salah jika salah seorang sejarawan terkemuka Washington, Henry Matthews, pun mengaguminya Menurut sejarah, Sultan Şemşi Ahmet Paşa yang memerintah Kesultanan Turki pada tahun 1579-1580 menyuruh Mimar Sinan untuk merancang sebuah mesjid untuknya. Dan mesjid ini adalah salah satu dari mesjid terkecil yang pernah dibuat oleh Mimar Sinan. Namun, mesjid ini menjadi mesjid yang paling terkenal di kota dikarenakan kombinasi dari dimensi miniatur dan lokasi tempat dibangunnya mesjid tersebut. Sultan Şemşi Ahmet Paşa sengaja memanggil Mimar Sinan untuk membuat sebuah mesjid yang tidak dikotori oleh burung seperti mesjid lainnya di Istanbul pada masa itu. Oleh karena itu, Mimar Sinan membangun Ahmet Paşa di titik pertemuan angin Laut Marmara dan Laut Hitam. Angin yang berhembus akan masuk melalui lubang-lubang kecil menara dan memantulkan dengung yang akan membuat burung-burung ketakutan. Itu sebabnya, tak ada seekor burung pun yang dapat kita temukan di kubah mesjid tersebut. Karena keadaan ini pula, mesjid ini lebih dikenal oleh masyarakat Turki sebagai ‘Kuşkonmaz Camii’ atau mesjid yang tak pernah dihinggapi burung. Mesjid ini memiliki dua gerbang masuk. Satu menghadap ke daratan dan satu lagi menghadap ke lautan. Pada gerbang yang menghadap ke darat dapat ditemukan lahan terbuka untuk pemakaman. Dan tepat di belakang dinding kiblat mesjid terdapat situs pemakaman generasi Sultan Şemşi Paşa. Di dalam kompleks mesjid juga terdapat sebuah madrasah berbentuk L yang menghadap ke barat dan selatan. Dan di sebelah utara terdapat dinding dengan jendela berkisi yang menghadap ke Selat Bosphorus. Jika pergi ke Istanbul, saya menyarankan agar berkunjung ke Şemşi Paşa Camii. Selain dapat menyaksikan misteri yang begitu mengagumkan, kita juga dapat menikmati keindahan Selat Bosphorus. Tepat di depan mesjid, kita akan menemukan Dolmabahçe Palace. Istana yang pernah diduduki oleh para sultan dan tempat di mana Atatürk menghembuskan nafas terakhirnya. Di sebelah kiri mesjid dapat kita lihat bangunan anggun yang terletak di tengah Selat Bosphorus, Kız Külesi. Tempat yang dulu pernah dijadikan penjara dan kini diubah menjadi restoran indah. Sedangkan di sebelah kanan mesjid, kita dapat melihat karya fenomenal Turki. Apalagi kalau bukan Jempatan Bosphorus yang menghubungkan dua benua, Asia dan Eropa Takbir yang sama, di tempat berbeda. Menghadirkan suasana yang berbeda pula bagi saya. Sebersit rasa rindu akan suasana lebaran di Aceh tiba-tiba saja hadir dalam hati. Lebaran kali ini memang tak sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya harus melewati Idul Fitri di Negara Atatürk yang jaraknya 14 jam dari Indonesia dengan jalur udara. Rindu semakin bertambah saat malam pertama lebaran. Syahdu gema takbir di seluruh kota seperti di Indonesia tak terdengar. Tak ada anak-anak yang memukul gendang dan meneriakkan takbir lebaran. Memenuhi dan menerangi jalanan dengan obor dan lampu-lampu kecil. Tak ada ibu-ibu yang sibuk mempersiapkan lontong, ketupat, opor ayam, rendang, atau makanan kecil seperti es buah, timphan, kue lebaran, dan makanan lainnya. Lebaran di Turki jatuh pada hari yang sama seperti di Indonesia, Senin 28 Juli 2014. Ada hal begitu mencolok yang membedakan Turki dari Indonesia, yaitu pelaksanaan Shalat Ied yang hanya dilakukan oleh lelaki saja, sedangkan wanita melaksanakannya di rumah. Bukan karena wanita tidak boleh melaksanakan ibadah di mesjid, tetapi ini merupakan tradisi turun menurun. Di Istanbul sendiri, saya masih bisa melihat beberapa wanita yang beribadah di mesjid-mesjid besar, seperti Sultan Ahmet maupun Mimar Sinan Camii. Hanya di mesjid-mesjid kecil saja yang saya lihat dipenuhi oleh laki-laki. Saya dan teman-teman lebih memilih Mimar Sinan Camii untuk melaksanakan Shalat Ied kali ini karena jarak yang lebih dekat dengan rumah kami. Saat lebaran, atau yang dalam bahasa Turki disebut Bayram, orang-orang akan saling mengucapkan ‘Bayramınız mübarek olsun’, seperti kita di Indonesia yang saling mengucapkan ‘minal aidzin wal faidzin’. Sama seperti di Indonesia pula, setelah Shalat Ied orang-orang akan pergi bersilaturrahim ke rumah keluarga atau tetangga terdekat. Inilah yang unik dari negeri dua benua ini. Berkunjung ke rumah-rumah mereka seperti kita berkunjung ke rumah saudara lama. Kehangatan akan terasa saat pertama kali kita memasuki rumah. Mereka akan memperlakukan kita layaknya keluarga sendiri walaupun sebenarnya baru pertama sekali bertemu. Tradisi mereka ini selalu berhasil membuat para tamu merasa dimuliakan. Tak seperti di Indonesia yang menyuguhi makanan berat kepada tamu yang datang ke rumah, di Turki tamu-tamu akan disuguhi dengan manisan seperti coklat dan şeker. Dan yang lebih menarik lagi, akan ada salah satu dari anggota keluarga berkeliling sambil membawakan permen atau coklat dan juga sebotol cologne untuk membasuh tangan, leher dan pipi sebelum mengambil permen-permen itu. Biasanya, anak terkecil yang akan berkeliling dan menyodorkannya kepada para tamu. Di samping manisan akan ada segelas çay (teh) hangat tanpa gula dengan gelas kecil yang telah dipersiapkan. Lebaran juga menjadi tradisi bagi anak-anak di sini berkeliling dari rumah ke rumah dengan membawa kantung kecil. Mereka datang untuk meminta manisan seperti şeker, fındık atau fıstık. Tak jarang beberapa orang juga memberikan uang di dalam amplop warna-warni kepada anak-anak tersebut, seperti tradisi kita di Indonesia. Bayram benar-benar menjadi hari raya, khususnya bagi para mahasiswa asing seperti saya dan teman-teman. Bayram tiba, berarti hari transportasi gratis pun tiba. Ya, pemerintah Turki akan menerapkan program gratis transportasi kota selama tiga hari selama Idul Fitri. Semua orang dapat menaiki seluruh transportasi tanpa membayar sepeserpun kemana pun mereka ingin pergi. Tak ingin melewatkan momen, saya dan teman-teman juga segera menikmati program gratis ini untuk mengelilingi keindahan Istanbul. Tak dapat merasakan lebaran di Aceh dengan segala tradisinya memang membuat rindu. Namun, kehangatan warga Turki selalu dapat meredam sedikit perasaan itu. Ditambah saya yang tak harus melewati lebaran kali ini sendirian. Masih ada anak-anak Indonesia lainnya yang juga tak pulang tahun ini. Kami bersama-sama membuat lebaran terasa seperti di Indonesia. Memasak makanan Indonesia dan bertakbir bersama. Saling bersilaturrahim dengan mahasiswa dan ibu-ibu Indo lainnya. Dari bumi Al Fatih, saya bersama warga Aceh lainnya, menyampaikan segenap rindu kami kepada tanah Serambi Mekkah. Selamat Idul Fitri 1435 H. Bayramınız kutlu olsun. Taqabbalallahu minna wa minkum. Waj’alna minal aidina wal faidzina. Azan Isya membuatku dan teman-teman segera mengambil wudhu. Kami tak ingin melewatkan nikmat tarawih di malam-malam terakhir, suasana yang akan segera pergi dan hanya bisa dirasakan setahun lagi. Malam ini, langit seakan memakan sebelah bulan. Setengah cahayanya menghilang. Tanda bahwa Ramadhan tak lama lagi akan berpamitan. Ramadhan kali ini adalah Ramadhanku yang berbeda dari sebelumnya. Tak pernah sedikit pun terbayangkan bahwa aku akan berpuasa jauh dari rumah, bahkan berada di luar Indonesia. Tahun ini aku melewati Ramadhan di Turki bersama anak-anak Indonesia yang lain. Dan ternyata, melalui Ramadhan di bumi Sultan Muhammad Fatih mengajarkanku banyak hal. Mulai dari kesabaran karena Ramadhan di Turki berlangsung selama musim panas. Yang artinya adalah aku harus berpuasa selama hampir 18 jam. Menjadi negara sekuler membuat Ramadhan terasa berbeda di sini, khususnya Istanbul. Jika di Aceh semua toko-toko makanan ditutup, Ramadhan di sini sama saja seperti hari-hari biasa. Toko-toko makanan masih menjajakan dagangannya secara terang-terangan. Dan jangan kaget jika anda berkunjung ke Istanbul di bulan Ramadhan mendapati sebagian orang menikmati sarapan dan makan siang di jalan. Itu sudah menjadi hal biasa. Ya, negara ini bukan seperti Serambi Mekkah kita yang begitu menjunjung tinggi Ramadhan dan menghormati orang-orang yang berpuasa. Di sini semua dianggap sama. Awalnya, kupikir puasa kali ini akan benar-benar terasa memberatkan. Namun, ternyata aku salah. Waktu yang panjang terasa begitu singkat. Godaan-godaan dari sekitar hanyalah seperti tak terlihat. Sama seperti keraguanku melewati puasa kali ini, awalnya kupikir akhir Ramadhan di negara sekuler ini membuat mesjid-mesjid sepi. Namun, lagi-lagi ternyata aku salah. Aku tercengang melihat shaf-shaf yang masih berjejer rapi hingga akhir. Dan yang lebih mengagumkan lagi, tak hanya orang tua yang memakmurkan mesjid, anak muda pun terlihat. Mereka tak kalah antusias. Semua berlomba-lomba memperbanyak ibadah. Sisi yang benar-benar bertolak belakang dengan apa yang kulihat di jalan sebelumnya. Ternyata, menjadi negara sekuler bukan berarti membuat seluruh warganya jauh dari Islam. Ada hal yang begitu membuatku kagum selama awal Ramadhan di sini. Sebuah program pengajian yang dibuat oleh sebagian ibu-ibu di rumah mereka. Program yang biasa dikenal dengan sebutan mukabele. Karena mengikuti program ini pulalah, Ramadhan tak terasa berat bagiku. Program ini dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Para ibu akan membuat grup-grup dan berkumpul di rumah salah satu anggota untuk membaca Al Qur’an bersama. Hampir sama dengan pengajian yang ibu-ibu lakukan di Aceh, memanggil ustadz atau ustadzah untuk mendengarkan bacaan mereka dan sesekali memberi tausiyah. Dalam satu hari biasanya para anggota mukabele dapat menghabiskan dua sampai tiga juz perorangnya. Jadi, sebelum akhir Ramadhan mereka telah mengkhatamkan Al Qur’an hingga berpuluh-puluh kali. Aku dan murid-murid Indonesia lainnya juga diikutsertakan dalam program ini. Setiap hari mereka akan menelpon dan memberitahu alamat di mana mukabele akan dilaksanakan. Tak hanya satu rumah, terkadang kami juga berpindah ke rumah yang lain. Jika tak ada kegiatan di rumah atau di kampus, kami akan pergi mukabele di siang harinya hingga buka puasa tiba. Dan waktu selama itu hanya diperuntukkan untuk membaca Al Qur’an dan berdoa. Ibu-ibu Turki itu akan sangat bahagia jika kita bersedia datang ke rumahnya. Membaca Al Qur’an dan meminta mendoakan keberkahan untuk mereka. Untuk keluarga yang sakit dan yang telah meninggal dunia. Bahkan, yang lebih membuatku terharu adalah mereka yang sama sekali tidak bisa membaca Al Qur’an, tetapi ingin khatam di bulan Ramadhan, pun ikut meramaikan program ini. Di sinilah kami, murid-murid Indonesia, membantu mereka. Membacakan juz-juz dengan suara keras agar mereka bisa menyimak. Perasaan yang sangat berbeda ketika tiap kali juz-juz itu selesai kami baca. Terkadang ada ibu-ibu yang menangis dan memeluk erat ketika kami hendak pulang. Mereka berharap nantinya juga bisa lancar membaca, bahkan kalau bisa menjadi salah satu dari para hafidz Qur’an. Tak hanya itu, saat Ramadhan tiba, banyak kursus Al Qur’an gratis dibuka di mana-mana. Anak kecil hingga orang dewasa yang belum dapat membaca Al Qur’an akan beramai-ramai datang ke tempat tersebut. Belajar huruf Arab dan mempelajari tajwid. Tempat ini benar-benar tidak memungut biaya sepeserpun. Semua dilakukan dengan ikhlas dan semata mengharap ridho Allah. Sejak masa kekhalifahan Utsmani, rakyat Turki sudah terkenal dengan kegemarannya bersedekah. Dan di Ramadhan kali ini, aku dapat menyaksikan sendiri kedermawanan mereka. Berbondong-bondong mereka mengeluarkan harta yang mereka punya. Dimulai dari pejabat hingga ibu rumah tangga. Tak jarang kami di sini mendapat berkah dari sedekah itu. Bahkan, salah satu temanku mendapat tiket gratis untuk pulang ke Indonesia. Inilah Turki, tempat di mana seorang cleaning service pun tak ingin ketinggalan bersedekah. Kadang mereka hanya bisa memberi sekotak sabun ataupun seplastik buah-buahan saja. Namun, keinginan mereka untuk bersedekah benar-benar besar. Mereka yakin, walaupun hanya sepotong roti kecil yang mereka beri akan sangat dibutuhkan. Andai bersedekah juga menjadi kebiasaan warga Aceh. Saling berbagi dengan sesama yang saling membutuhkan. Tak hanya warganya, pemerintah Turki juga sama. Jika kita berjalan-jalan di kawasan ramai, akan kita jumpai tenda-tenda putih berdiri memenuhi jalan. Kursi dan meja disusun serapi mungkin. Dan bau makanan hangat akan tercium. Itu adalah tempat di mana pemerintah menyediakan buka puasa gratis bagi warganya selama Ramadhan. Namun, jangan salah. Bukan hanya warga tak mampu yang rela berantri ria, sebagian masyarakat yang ‘cukup’ pun dapat kita lihat di barisan antrian. Ini bukan soal gengsi dan jenjang ekonomi kehidupan. Akan tetapi, tentang arti berbagi dan kebersamaan, walau hanya dengan makanan sederhana. Selain itu, untuk meramaikan buka puasa terkadang juga akan diundang artis ibukota. Bahkan, Maher Zein pun sempat menyapa warga Turki dengan lagu-lagu Islaminya. Ada satu malam di bulan Ramadhan yang menjadi ciri khas seperti di Indonesia. Mereka menyebutnya Kader Gecesi. Malam ke dua puluh tujuh Ramadhan. Malam yang menjadi kepercayaan warga Turki dan Indonesia sebagai malam turunnya Al Quran dan Lailatul Qadar. Ibadah akan semakin ditingkatkan di malam ini. Mesjid-mesjid akan penuh oleh orang-orang yang beri’tikaf. Semua orang ingin mendapatkan berkah Lalilatul Qadar. Walaupun sebenarnya, tak ada yang tahu kapan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu akan tiba. Menurut perkataan teman Turkiku, saat itu juga toko-toko roti akan menjual roti khusus yang hanya dijumpai di Kader Gecesi, maulid Nabi dan hari Isra Mi’raj Rasulullah Saw. Roti itu berbentuk lingkaran dengan bolong di tengahnya seperti donat. Roti ini akan disajikan untuk tamu di rumah-rumah dan di asrama-asrama. Semoga aku juga bisa merasakan roti spesial itu nantinya di malam ke dua puluh tujuh. Suasana Ramadhan di Turki memang terasa berbeda. Negara ini seakan memiliki dua kubu. Satu adalah orang-orang modern yang hidup bergaya Eropa, satu lagi adalah orang-orang yang hidup seperti pada masa khalifah. Negara sekuler yang ternyata menyimpan kerinduan akan Islam yang begitu luar biasa di hati warganya. Keinginan beribadah yang begitu besar. Anak-anak remaja yang berlomba menyelesaikan hafalan Al Qur’an, mempelajari tajwid, dan ibu-ibu yang ingin khatam. Hal ini pulalah yang menjadi pendobrak semangatku di kala luntur dan malas-malasan beribadah. Jika yang renta dapat menghabiskan tarawih hingga rakaat dua puluh, yang buta tulisan Arab berlomba untuk khatam, mengapa kita sebagai anak muda tidak bisa? Padahal mereka bersusah payah ketika sujud dan ruku’, menahan sakit pinggang dan lutut. Dan membaca dengan penglihatan yang tak lagi jelas. Jika di negara sekuler Ramadhan sangat dirindukan, mengapa di Serambi Mekkah Ramadhan tak bisa menjadi tamu istimewa? Lalu, masihkah kita menyia-nyiakan sisa Ramadhan yang sebentar lagi akan meninggalkan kita? |
SELAMAT DATANG :DCategories
All
Archieve
December 2020
|