Pergi ke Turki tentu tidak sah jika tidak mengunjungi dua bangunan penting di pusat kota Istanbul, Hağia Sofia, gereja terbesar pada masa Kerajaan Byzantium atau menikmati tentramnya beribadah di bangunan saingannya, Blue Mosque (Mesjid Biru). Setiap orang yang datang pasti wajib ke tempat ini, setidaknya berfoto di depan kedua bangunan megah tersebut. Hağia Sofia adalah Gereja Ortodoks Yunani yang diubah menjadi mesjid saat Sultan Muhammad Fatih menaklukan Konstantinople pada tahun 1453 dan dijadikan museum oleh Mustafa Kemal Atatürk pada tahun 1935. Sedangkan Blue Mosque sendiri atau yang disebut Mesjid Sultan Ahmet oleh orang-orang Turki adalah sebuah mesjid yang dibangun pada masa kesultanan Sultan Ahmet I dengan interior dalam dinding keramik bernuansa biru. Saya sendiri sudah berkali-kali mengunjungi kedua tempat tersebut. Namun, di perjalanan saya yang terakhir ke Blue Mosque, ada sisi lain yang terlihat dari mesjid megah tersebut. Sisi yang berbeda. Terdapat beberapa pintu masuk menuju pelataran mesjid, pintu utamanya tepat mengarah ke sebuah medan terbuka yang disebut Atmeydanı (medan kuda). Saya sudah sering mendengar medan ini dari beberapa teman Turki, tetapi tidak mengetahui secara pasti sejarah sebenarnya hingga akhirnya saya berjalan-jalan ke sebelah kiri dari pintu utama Blue mosque. Di sana terdapat dua buah obelisk besar dengan ujung berbentuk limas segiempat mengacung ke langit. Setelah membaca penjelasan yang tertera di dekatnya, saya mengetahui bahwa obelisk ini ternyata dibawa dari Mesir melalui sungai Nil menuju ke Alexandria untuk selanjutnya dikirim ke Konstantinople. Yang unik dari obelisk ini adalah terdapat rangkaian gambar seperti Hierograph di badannya dan ternyata berada pada satu garis lurus dengan obelisk lain di belakangnya. Sedang di depannya terdapat sebuah pilar perunggu berulir. Saya sempat membaca penjelasan yang terdapat di dekat pilar tersebut. Ternyata pilar itu bernama Serpent Column (Pilar Ular). Konon, di atas pilar tersebut terdapat tiga kepala ular, tetapi kepala ular yang berada di atasnya jatuh dan hancur. Satu dari kepala ular tersebut saat ini berada di Museum Arkeologi Istanbul. Awalnya, tak ada yang menarik dari ketiga benda tersebut hingga saya melihat ke sekeliling dan menyadari sesuatu. Ketiga benda tersebut pernah saya lihat dalam sebuah buku yang menceritakan tentang Konstantinople. Ada sebuah stadium besar berbentuk letter U, benama Hippodrome, tempat dilangsungkannya pertempuran kuda pada masa Byzantium. Dan ketiga benda tersebut berada tepat di tengah-tengah Hippodrome dalam satu garis lurus. Hippodrome yang dikenal pada masa Kerajaan Byzantium itu ternyata kini dikenal dengan nama Atmeydanı, tempat di mana saya berada, di mana sebuah mesjid mewah berdiri tegak di atasnya.
Saat sedang mencari lebih dalam sejarah ketiga benda tersebut, saya mendapati satu bangunan yang tak kalah menarik di sebelah kanan obelisk, Museum Karya Turki dan Islam. Dengan menggunakan kartu museum yang bisa saya gunakan selama setahun penuh untuk memasuki seluruh museum yang ada di Turki, saya memasuki museum tersebut. Alangkah terkejutnya saya ketika mendapati apa yang terdapat di dalamnya. Jika di Topkapı kita bisa menemukan pedang Rasulullah dan para sahabat, juga berbagai perhiasan mewah para sultan, di museum ini kita dapat menemukan berbagai bentuk Al-Quran yang ditulis sejak masa Bani Umayyah hingga Kesultanan Osmaniyah. Al-Qur’an dengan berbagai ukuran dan ukiran yang luar biasa indah. Bahkan ada Al-Quran yang ditulis oleh berbagai suku besar di dunia Islam yang tak tercatat di buku sejarah Islam Indonesia. Saya bisa mengatakan ini mungkin adalah surga bagi para pencinta kaligrafi dan orang-orang yang sedang mendalami khat karena di museum inilah berbagai macam khat Al-Quran dapat ditemukan. Selain itu, ada ruangan khusus tempat karya-karya para sultan, ambal khas Turki, dan temuan-temuan arkeologi Bani Umayyah dan Abbasiyah. Namun dari semua ruangan tersebut, yang paling membuat saya berlinangan air mata adalah saat sampai ke ruangan tempat koleksi janggut Rasulullah, juga ruangan tempat kain penutup Ka’bah di masa Osmaniyyah terpampang. Mungkin museum ini tidaklah seluas Istana Topkapi, tetapi berada di dalamnya hanya dalam waktu beberapa menit saja membuat saya ingin mengajak teman-teman saya untuk juga ikut merasakan suasananya suatu hari. Tepat di lantai bawah museum, terdapat satu ruangan besar yang diisi dengan tembok tanah. Saya masuk ke dalamnya, bau ruangan tersebut terasa begitu tua. Tembok yang ada di dalamnya mungkin berumur ratusan tahun, pikir saya. Lalu, saya membaca penjelasan yang tertulis. Ternyata, itu adalah puing-puing sisa reruntuhan Hippodrome, bangunan besar yang saya ceritakan di atas. Saksi bisu sejarah sebuah peradaban besar. Ada perasaan aneh yang bergelut di dalam hati saya saat keluar dari museum. Melihat menara Blue Mosque anggun melangit, jejeran obelisk-obelisk Roma. Saya terus berjalan di sekitar atmeydanı. Ya, di tempat ini, beratus tahun lalu, pernah djadikan tempat pertempuran dan disaksikan oleh beribu jiwa manusia. Namun, hari ini, tempat ini menjadi tempat yang jauh berbeda. Di medan ini kini dilangsungkannya ibadah dan terdengar lantunan azan yang indah setiap waktunya. Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, tidakkah indah menikmati sejarah Roma di masa Islam bertahta? Lalu, masihkah saya mendustakan nikmat-Nya?
0 Comments
Turki, siapa yang tak kenal negeri yang menjadi salah satu tujuan utama pariwisata dunia tersebut? Kaya akan budaya, tempat bersejarah, orang-orang yang begitu ramah membuat siapapun ingin berkujung ke negeri empat musim itu, merasakan bagaimana indahnya berada di sebuah negeri yang memiliki jejak di dua benua berbeda. Hingga saat ini, setidaknya ada lebih dari 1500 penduduk Indonesia yang berada di Turki, baik mahasiswa maupun pekerja. Lalu apakah yang menjadi alasan mereka memilih tinggal di negeri Al-Fatih? Saya, termasuk salah satu mahasiswa yang mengambil studi di Turki dan bertempat tinggal di Istanbul, kota besar yang terkadang dikira sebagai ibukota karena populasi yang begitu padat, padahal ibukota Turki berada di Ankara. Mungkin Istanbul dapat dikatakan sebagai “Amerika”nya Turki. Di kota ini berbagai jenis orang dapat kita lihat. Baik dari yang berkulit putih pucat hingga hitam legam. Di kota ini juga kita dapat bertemu orang-orang dari berbagai penjuru dunia dan mengenal budaya mereka. Ya, sama seperti Amerika. Apa sih keistimewaan Istanbul? Ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan kepada saya. Mengapa memilih Turki? Bagaimana hidup sana? Bahkan ada beberapa orang yang mengira bahwa Turki termasuk negara yang terdapat gurun sahara dengan orang-orang berjubah hitam dan bercadar seperti Arab. Juga ada yang pernah bertanya, “berarti kamu bisa bahasa Arab dong?” Saya hanya tersenyum saja menjawabnya. Turki memang negeri yang bertetangga dengan negeri-negeri Arab seperti Iran, Suriyah, dan Irak, tetapi Turki berbeda dengan Arab. Bahasanya juga berbeda. Saya memilih mengambil studi di negeri ini karena di satu-satunya negeri Eropa inilah saya masih dapat menikmati indahnya lantunan azan setiap lima waktu sholat. Masih dapat menemukan mesjid di sepanjang jalan dan menunaikan ibadah tanpa ada hambatan seperti negeri Eropa lainnya. Ada banyak alasan mengapa Istanbul menjadi prioritas saya, di antaranya selain bisa menikmati pendidikan berkualitas Eropa dengan harga paling murah, saya juga bisa menikmati indahnya pariwisata sejarah. Ya, cuma di sini mahasiswa bisa dengan mudah mengelilingi dan mempelajari sejarah Islam terakhir sambil terus menjalani kuliah. Kalau sudah penat dengan pelajaran-pelajaran rumit atau ujian yang begitu membuat stres, tinggal keluar rumah dan mengelilingi kota saja. Di Istanbul saya dapat menemukan segala jenis alat transportasi apapun. Baik dari yang paling lambat hingga yang paling cepat, laut, dan darat, bahkan ada yang dapat melintasi dua benua hanya dalam hitungan menit saja dari bawah laut. Di kota ini juga saya dapat menemukan makanan lezat dari seluruh penjuru Turki dan membuat siapapun rindu jika sudah mencobanya, seperti yang paling dikenal dunia, kebab. Orang-orang yang berkarakter ramah juga selalu bisa membuat siapapun betah. Baru pertama berkenalan saja kita sudah merasa seperti keluarga yang lama berpisah. Jadi, walaupun jauh dari keluarga di Indonesia, di sini siapapun pasti akan menemukan keluarga baru yang tak kalah hangat.
Namun, di balik seluruh kenikmatan itu, Istanbul juga tak luput dari permasalahan yang menjadi keluhan setiap mahasiswa, khusunya. Biaya hidup yang mahal, misalnya. Istanbul merupakan kota yang menjadi kota dengan biaya hidup termahal seantero Turki. Ini yang selalu menjadi keluhan mahasiswa, apalagi menjelang akhir bulan dan beasiswa yang sudah habis terpakai. Untuk transportasi, misalnya, Turki memang memiliki program setengah harga untuk mahasiswa dalam hal transportasi. Namun, dibanding kota-kota lain yang berada di Asia, Istanbullah yang paling mahal. Jadi, tinggal di Istanbul sama seperti belajar mengatur isi kantong. Boros sedikit, susahnya di akhir. Hal yang juga begitu dikeluhkan adalah kemacetan. Ya, di kota besar mana tak ada macet? Walaupun memiliki transportasi yang kaya dengan berbagai macam model, pagi hari dan petang selalu menjadi titik puncak kemacetan terjadi dikarenakan merupakan jam masuk dan pulang kantor. Alat transportasi yang padat ditambah harus berjam-jam berada di jalan menjadi fenomena biasa di kota ini. Menjadi tujuan pariwisata dunia menjadikan Istanbul begitu ramai. Tempat-tempat bersejarah seperti Hagia Sofia dan Blue Mosque, juga pasar pernak-pernik Turki selalu penuh dan di tempat itulah tak jarang perampokan terjadi jika tak berhati-hati. Istanbul di malam hari juga menjadi salah satu waktu yang paling berbahaya. Untuk mahasiswi, khususnya, disarankan untuk tak lagi keluar rumah setelah Isya dikarenakan banyaknya kasus kejahatan yang terjadi pada malam hari. Namun, seluruh aspek negatif tersebut tidaklah menjadi alasan untuk menghambat saya menempuh pendidikan di sini. Semua tergantung dari segi mana kita menilai. Jika kita memandang dari sudut positif, positiflah yang terlihat, juga sebaliknya. Lagipun, di tempat mana bisa menikmati Eropa dengan aroma Asia? |
SELAMAT DATANG :DCategories
All
Archieve
December 2020
|